Sore dan Perjalanan Panjang Museum Gula dalam Secangkir Teh

Saya kira, sore ini adalah sore yang sempurna dengan berteman teh manis hangat, nasi dan sayur kangkung racikan ibu. Sambil melepas lelah perjalanan pagi hingga siang tadi, saya menghabiskan seluruh isi piring dan gelas. Tak bersisa.

Makan sore, begitu saya menyebutnya. Makan sore yang kebetulan sekali ibu sedang menyeduh teh manis. Saya langsung memintanya karena saya pikir, pusing di kepala akibat terik matahari dan perjalanan berjam-jam bisa sedikit reda. Nyatanya? Tidak sama sekali. Tetapi sering kali, orang-orang sekitar beranggapan bahwa, teh manis hangat, lebih lagi panas, bisa meredakan pusing di kepala. Lebih lagi orang jawa, kemepyar dan lega, begitu kata almarhum simbah dulu.

Dulu, simbah sendiri selalu punya nampan khusus berisi teko hijau bermotif dan cangkir kecil yang kapasitasnya terlalu kecil untuk minum ketika sedang haus-hausnya. Tetapi untuk sekedar ngeteh saja, saya perhatikan simbah merasa sudah pas. Terkadang, ditemani bakwan atau singkong rebus jika punya.

Jika tidak punya cemilan, teh saja tidak masalah bagi simbah. Bahkan sesekali, sedikit tawar karena stok gula menipis. Itu artinya, porsi gula untuk secangkir teh sudah dikurangi. Ya, saya sering mencicipinya dulu.

Saya masih begitu ingat, ketika masih sehat, simbah sampai pernah membeli gula setengah dari kemasan terkecil demi ritual ngetehnya. Di desa saya, kemasan gula curah terkecil adalah dua ratus lima puluh gram. Nah, simbah membeli separuhnya, jadi mungkin si pemilik warung memperbolehkannya. Membuka plastik kemasan, lalu menimbang ulang dan saya yakin separuhnya untuk konsumsi pemilik warung sendiri.

***

Gula dan teh sepertinya dua hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan simbah. Hm, bahkan sampai lapisan masyarakat apapun. Petani misalnya, ngeteh dan berteduh di gubuk, sejenak menghindari terik matahari sambil melepas lelah. Pensiunan, menghabiskan senja di beranda rumah, dengan kue-kue kering yang tidak terlalu keras, rasa gurih yang khas dan teh manis di dalam cangkir antiknya. Orang-orang berjas hitam dan kemeja rapi di kantor, ada kalanya juga menikmati teh manis sejenak untuk melawan jenuh.

Saya sendiri, mendapati diri sedang melamun dengan gelas teh manis yang belum lama kosong. Mengingat-ingat perjalanan siang tadi. Kebetulan, tadi saya dan bapak pergi ke Solo untuk suatu urusan. Saya tertarik untuk mampir ketika melihat plang hijau bertuliskan “Museum Gula” di Jalan Jogja-Solo kilometer 25.

IMG_20170312_125710_017
Museum Gula Jawa Tengah

Beruntung, bapak yang sebelumnya tidak mau mampir merasa butuh sedikit istirahat sewaktu perjalanan pulang. Saya sedikit mengakali, dengan mengajak bapak istirahat di rest area Gondang Winangoen. Jadi, sementara bapak istirahat sambil mengobrol dengan tukang parkir, saya menyelinap ke area Museum Gula Jawa Tengah yang tidak jauh dari rest area.

Saya membeli satu tiket seharga lima ribu rupiah, lalu masuk ke arah bangunan bergaya indisch di belakang loket. Sepi, tidak ada siapa-siapa. Saya berjalan ke arah taman. Juga sepi, hanya disambut beberapa lokomotif yang salah satunya bertuliskan “simbah”. Menengok ruangan di dalam bangunan museum sebentar, saya mendapati ruangan yang gelap. Sayapun segera kembali ke loket. Dari basa-basi sebentar, seorang penjaga tiket menawarkan diri untuk menemani saya berkeliling museum. Bersama beliau, saya diajak berkenalan dahulu dengan “simbah” yang rupanya ia adalah loko berusia tua saat beroperasi pada awal kejayaan Suikerfabriek Gondang Winangoen.

20170312_103317
Menuju museum

Di mulai dari sebuah prasasti peresmian oleh Bapak Soepardjo Roestam, Gubernur Provinsi Jawa Tengah kala itu, museum ini berkisah melalui tutur kata penjaga loket yang saya tidak sempat menanyakan namanya. Awalnya, saya menyebutnya penjaga loket, karena memang sejak awal saya masuk, beliau di ruang loket, bukan berjaga layaknya pemandu yang menunggu dipinang oleh wisatawan. Tetapi akhirnya beliau memandu saya di museum yang di jam-jam pagi tadi, pengunjungnya hanya saya sendiri.

***

Museum dengan ruang-ruang sepi ini sering disebut-sebut sebagai museum gula satu-satunya di Asia Tenggara. Tertulis di prasasti, Museum Gula diresmikan hari sabtu kliwon tanggal 11 September 1982. Empat tahun setelahnya, para praktisi dan pemerhati gula sedunia melakukan penelitian di museum ini saat Kongres Internasional Society of Sugar Cane Technologist (ISSCT) di Pasuruan, Jawa Timur tanggal 22 Agustus 1986.

20170312_102246
Replika reynoso di bawah papan bertuliskan Museum Gula Jawa Tengah

Kami hanya butuh beberapa langkah untuk sampai di depan peta Provinsi Jawa Tengah yang dilengkapi dengan lampu kecil dan tombol persis di depannya. Lampu hijau untuk pabrik gula yang masih beroperasi, yang berjumlah delapan. Sedangkan lampu merah untuk pabrik yang sudah tidak beroperasi. Konon, ada 51 pabrik gula di Jawa Tengah buatan kolonial yang sekarang sudah hancur, bertransformasi menjadi pasar, terminal, pemukiman. Hanya menyisakan 13 bangunan pabrik yang tentunya merupakan bangunan-bangunan klasik yang sejuk dipandang mata.

20170312_103513
Di salah satu sudut~

Pabrik Gula Gondang Winangoen, adalah salah satu saksi kejayaan cultuurstelsel yang masih berdiri dan aktif sampai sekarang. Lokasinya berada di sebelah timur museum. Terlihat jelas cerobong asap yang menjulang tinggi ketika kita melewati jalan raya Jogja-Solo. Jadi, dulunya museum ini adalah rumah bekas pegawai pabrik. Bersebelahan dengan museum, tepat di belakang rest area masih berdiri megah bekas tempat tinggal administratur. Sekarang, bangunan ini difungsikan sebagai homestay yang masih bercirikan milik penguasa. Halaman luas, taman, dan sudut-sudut untuk melihat pemandangan alam sekitar. Tentu saja untuk melihat aktifitas para pegawai pabrik juga.

20170312_094203
Sempet masuk ke area belakang pabrik

Pemandu terus berkisah tentang Pabrik Gula Gondang Winangoen yang setelah tahun 1957 resmi berganti nama menjadi Pabrik Gula Gondang Baru, sembari membuat langkah kecil. Karena memang, jarak antar koleksi di museum ini sangat pendek. Entah penataan atau memang tempatnya yang kurang memadai. Untuk ukuran sebuah rumah, bagunan dengan sedikit pendar cahaya bohlam putih ini tergolong besar.

Di sudut ruang utama, sebuah replika sistem bukaan lahan reynoso menarik untuk didekati. Saya terus memperhatikan penuturan pemandu, sambil membayangkan betapa rumit dan detail untuk penanaman tebu ini. Padahal, di desa saya dulunya juga ada sawah tebu. Tetapi kala itu saya hanya sebatas tahu, bahwa tebu hanya ditanam, dipanen lalu di bawa truk-truk besar. Sesekali saya dan anak-anak kecil lain mendekat, meminta beberapa batang untuk dibawa pulang. Kami mengupasnya, menyesap begitu saja padahal tangan kotor. Tetapi mungkin waktu itu, nikmat terlihat di wajah-wajah kecil kami. Kami gembira.

Kali ini saya baru mengerti, bahwa menanam tebu tidak hanya sebatas itu. Lebar got, posisi menanam, usia panen tebu diukur dan diperhatikan sedemikian detail. Tebu yang dipanen sebelum waktunya, dalam artian terlalu muda, akan banyak menghasilkan banyak tetes.

Alat-alat penanaman tebu, jenis tebu dan hama yang menyerang di tata di dalam lemari kayu yang sudah terlihat usang. Didukung dengan penerangan yang minim, membuat ruangan utama sebelah dalam museum terasa singup. Saya sendiri sempat kaget ketika bunyi krek-krek tiba-tiba terdengar. Ternyata, bersumber dari kipas angin di atas kepala yang sudah tidak baik lagi fungsinya.

20170312_102339
Salah satu bagian dalam museum

Tidak lama di ruang alat bertanam tebu, kami melewati sebuah pintu kecil. Menuju ruang yang luasnya hampir sama. Hanya, di sini agak terang dengan cat kuning dan hijau muda. Berjejer rapi sebuah mesin jahit goni sebagai kemasan gula, lemari usang sebagai laboratorium dokter gula dan sebuah timbangan besar. Menurut pemandu, mesin-mesin produksi di Pabrik Gula Gondang Baru masih bisa digunakan sampai sekarang. Mesin paling muda saja, sudah sejak tahun 1929.

20170312_102307

Kami berhenti sejenak di depan lemari kaca. Saya memperhatikan beberapa jenis gula sesuai warnanya dalam sebuah botol klasik. Ini adalah jenis gula sesuai standarnya dari Belanda. Di sini, yang menentukan manis asamnya gula adalah dokter gula. Dulu, standar gula berwarna hitam. Tetapi sekarang, putih kecokelatan. Saya baru tahu, di bedanya Pabrik Gula Gondang Baru ini dengan pabrik gula lain. Perbandingan takaran gulanya 1:2. Jadi semisal membutuhkan dua sendok gula, jika menggunakan gula dari sini, cukup satu sendok saja.

Kami kembali melangkah, melewati miniatur Pabrik Gula Tasikmadu, Karanganyar untuk menemui Vishva Mitra dalam bentuk lukisan yang sederhana. Dalam mitologi Hindu, Vishva Mitra adalah dewi gula. Jadi konon, tebu adalah tumbuhan liar yang hidup di daratan India. Di Indonesia, tebu tumbuh subur di area pertanian terutama Pulau Jawa.

Pandangan saya sendiri beredar random, ke beberapa foto upacara adat cembengan. Sebuah ritual selamatan sebelum proses penggilingan yang sampai sekarang masih aktif dilakukan di beberapa pabrik gula. Termasuk Pabrik Gula Gondang Baru dan Pabrik Gula Madukismo di Yogyakarta. Walaupun tidak semewah dulu, tradisi yang sering disebut kawin tebu ini tentunya menambah kekayaan budaya.

Hm, saya merasa agak lega ketika keliling museum kami sampai di ruang sebelah timur bagian depan. Karena, di ruang yang berisi meja pejabat pabrik gula dan foto mereka sejak pertama kali pabrik berdiri ini, saya bisa merasakan sinar matahari masuk ke dalam ruangan. Saya tertarik memperhatikan mesin ketik dan mesin hitung kuno yang ditata di lemari coklat. Semua serba antik.

20170312_102540
😍

Tetapi ternyata perjalanan kami belum selesai. Saya diajak melewati balkon depan menuju ke ruangan terakhir. Saya pikir, ruangan ini adalah ruangan terakhir. Sambil berjalan, sesekali saya bertanya kenapa museum ini sepi sekali.

“Di sebelah barat sana ada kolam renang, Mbak. Jam-jam segini yang ramai kolam renangnya.” Ujar pemandu. Saya memandang jauh ke arah yang ditunjuk. Benar saja, ada sebuah taman dan kolam renang di sana. Juga, kereta yang siap membawa pengunjung mengitari area Pabrik Gula Gondang Baru. Saya pikir, wajar saja jika bagi mereka, museum ini tak lebih menarik dari berkereta dan berenang.

20170312_101944
Rumit

Saya masuk lagi ke ruangan, ruangan terakhir. Berisi miniatur mesin-mesin dan alat dalam proses pembuatan gula. Selain penanaman bahan baku yang rumit, prosesnya tak kalah rumit. Tebu yang sudah siap dijadikan gula, harus melalui banyak sekali tahapan untuk bisa menjadi pemanis makanan dan minuman. Bahkan hasil samping pembuatan gula itu sendiri bisa dibuat pupuk dan kecap. Tidak ada satupun yang terbuang.

Walaupun museum ini lebih detail ke peralatan dan teknologi pembuatan gula, saya cukup kagum dengan ceritanya. Dengan keberadaannya yang sederhana, seolah tak padam ingin mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang jalan panjang pergulaan sejak zaman kolonial. Sebenarnya, sangat disayangkan juga karena peminatnya yang sedikit. Tetapi semoga, promosi dari pihak museum sendiri lebih gencar sehingga lebih menarik pengunjung.

20170312_104057
Pintu homestay

Saya tidak menyangka, secangkir teh manis hangat sore ini membawa saya dalam secuil kisah perjalanan panjang tentang gula. Gula yang ikut andil dalam sejarah kelam penjajahan Indonesia. Cerita-cerita mengenai tanam paksa, ternyata terselip kisah di balik megahnya bangunan Eropa klasik yang sekarang masih tersebar dimana-mana. Terkesan tua bahkan rapuh, tetapi kokoh menyimpan berbagai teka-teki yang menarik hati.


23 respons untuk ‘Sore dan Perjalanan Panjang Museum Gula dalam Secangkir Teh’

  1. Perlu berapa lama untuk keliling sampai ujung cerita ya? *kemudian bapak tertidur di parkiran* wkkw
    Lain kali ke sana lagi masuk ke pabrik penggilingannya rin, mesinnya masih beroperasi, bau asap-asapnya masih bisa disesap.

    Sayangnya memang sedikit yang melirik. Padahal menyimpan cerita perjalanan “tatkala sebatang tebu bisa jadi disendoki” đŸ˜‚

    Suka

    1. Mbak :’)
      Bapak emang tertidur waktu itu. Wkwkw. Iyaa rini juga jalan ke arah pabriknya pas itu. Tapi sepi cuma ada kakek tua gitu pakai tongkat malah jadi takut. Wkwk. Minggu kan tutup ya.
      Ah kapan-kapan deh pas musim giling pengen ke sana :’)
      Temenin yaa Mbak :’)

      Suka

    1. Hmm tapi menurutku malah justru membuat kita mengerti. Bahwa museum ini sudah berdiri kokoh, berjuang ingin menyampaikan cerita. Tetapi orang mempunyai ketertarikan masing-masing yang tidak bisa dipaksakan sama orang lain. Saling menghargai dan menjaga aja.

      Suka

    1. Nggak Mas Gallant. Sebenarnya nggak enak juga. Tapi mas pemandunya nggak mau. Masa? Mas Gallant mudik kemanakah? Keliatan banget, di utara jalan. Belum terlalu jauh kalau dari Prambanan. Bisa dicoba lain kali :))

      Suka

  2. Duluuuu banget jaman SD pernah study tour ke museum ini.. Tapi dulu masih bego, jadi cuma lari larian aja sambil seneng liatin mesin mesin dan bangunan jadul.. Sekarang aku baru paham kalo dulu pas jaman penjajahan belanda, gula dari jawa itu bikin belanda kaya karena belanda dapet untung banyak dari hasil ekspor gula yang dihasilkan dari tanam paksa di indonesia.. Hehe.. Sekarang baca postingan ini jadi pengen ke museum ini lagi.. đŸ˜€

    Suka

      1. Kalau mau masuk, sepertinya harus di hari kerja, jadi bisa melihat-lihat karyawan pabrik bekerja. Silakan sempatkan berkunjung đŸ™‚

        Disukai oleh 1 orang

  3. Bener banget, gondang winangoen ramai karena ada kolam renang dan terapi ikannya. Tanpa itu, museum tetap sepi. Klaten emang strategis. Belanda milih Klaten bukan tanpa alasan. Kalau terus ke arah Solo, tepatnya Pedan, di sana ada pabrik gula Belanda yang lebih parah dibanding gondang. Bahkan tak terawat.

    Makasih Mba RIni sudah ngulas daerah saya đŸ˜€

    Suka

    1. Oh, kolam renang plus terapi ikan ya, Mas. Saya soalnya nggak sempet ke kolam/tamannya. Bahkan pengen naik keretanya juga nggak sempet. Penasaran sampai sekarang :(.

      Tetapi kata masnya, per hari tetep selalu ada yang berkunjung đŸ˜€ Saya malah kapan-kapan pengin muterin sana lagi hehe.

      Pedan? Ok ok nanti saya baca-baca hehe.

      Terima kasih insanwisata tambahan informasinya. Ternyata putra daerah Klaten hehe đŸ™‚

      Suka

  4. pabrik gula juga pernah ada di Banjarnegara, lebih tepatnya di kec.Purwareja-Klampok, tapi kini sudah tidak ada, namun sisa2 bangunannya masih ada

    Suka

  5. Aku terpana sama cara Rini menulis. Selalu senang setiap mampir ke tulisan Rini. Ada nuansa romantis yang aku tangkep.
    Bangunan tua itu kaya memanggil untuk bercerita ya, Rin.

    Suka

Tinggalkan komentar