Menelusuri Jejak Kejayaan Pabrik Gula Sewugalur

Beberapa malam ini Kulon Progo terasa dingin, bahkan terkadang hujan deras mengguyur menciptakan genangan-genangan. Seperti malam ini, sangat cocok untuk bermalas-malasan. Tapi dengan segala tekad dan niat (hahaha) saya ingin segera menyelesaikan draft yang sebenarnya sudah saya cicil sejak awal Oktober tahun lalu. Menyedihkan.

Ini tentang blusukan saya waktu ikut teman-teman dari Komunitas Roemah Toea dan Kompasianer Jogja ke sebuah desa di Kulon Progo yang mungkin jarang orang mengenal tetapi menyimpan banyak cerita di dalamnya. Ini juga sekaligus saya tulis untuk Mbak Dhani, partner in crime (wkwk) yang kala itu gagal ikut blusukan karena suatu hal, jadi saya diwanti-wanti agar bercerita padanya. Dan sebenarnya, secara garis besar dan keterbatasan saya, sudah pernah saya singgung sedikit di catatan entah dan banyak sarang laba-labanya ini.

Lapangan Mbabrik

Sewugalur adalah sebuah dusun di ujung selatan Yogyakarta yang sebagian wilayahnya hampir berada di bibir laut selatan Jawa, tepatnya di Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Sekitar 30 kilometer dari kota Jogja, membuat daerah ini terasa jauh. Sebagian besar warga bekerja di sektor agraris, mengingat banyaknya persawahan yang hijau nan damai, tenang dan jauh dari macet. Suasana ndeso pokoknya. Namun siapa sangka, di daerah pinggiran ini dulunya berdiri megah sebuah pabrik gula lengkap dengan cerobong asapnya yang menjulang tinggi. Rumah-rumah dinas bergaya Indische, kehidupan yang sudah memakai listrik, telepon dan kereta lengkap dengan deretan rel yang membentang jauh ke kota, lalu membelah Pulau Jawa sampai ke titik utara di Tanjung Mas sana.

Pagi itu, belum ada pukul delapan saya menuju ke Balai Desa Karangsewu. Tim Komunitas Roemah Toea dan Blogger Kompasiana Jogja sudah mempersiapkan diri untuk mengajak kami menelusuri kehidupan Sewugalur pada masanya. Pembukaan oleh perwakilan komunitas dan seorang Bapak perangkat desa setempat berlangsung singkat.

Langit Sewugalur pagi itu nampak cerah, kami segera bergegas melangkahkan kaki ke tujuan pertama. Dipandu oleh Mas Hari Kurniawan, kami menuju sebuah rumah yang kini tinggal temboknya saja. Konon, rumah dinas administratur yang menghadap utara (menghadap pabrik) ini adalah rumah paling besar. Lengkap dengan fasilitas kandang kuda dan kolam renang. Akibat gempa dahsyat yang mengguncang Jogja tahun 2006 silam juga, kini temboknya mulai rentan walaupun masih terlihat bentuk rumah tanpa penyangga pintu dan jendela. Belanda membangun sedemikian rupa sehingga tanpa penyangga dan betonpun, masih tetap berdiri. Tetapi kami juga tidak masuk untuk menjaga agar getaran gerakan kami tak mengganggu keutuhannya.

Rumah paling besar namun sudah tak terawat

Nyiur melambai diterpa angin. Pepohonan di kebun sekitar menambah sejuk suasana, mengiringi langkah kami ke lapangan mbabrik. Ah ya, sebenarnya ini lapangan Sewugalur sih, mbabrik sendiri sebutan turun temurun untuk area ini yang berasal dari kata pabrik. Sebuah pasar tradisional di sinipun lebih dikenal dengan “Pasar Mbabrik”.

Menurut catatan sejarah, Suikerfabriek Sewoegaloor yang berdiri tahun 1881 ini merupakan satu-satunya pabrik gula yang berdiri di wilayah Kulon Progo, dulu bernama Adikarto. Sebuah wilayah pesisir di bagian selatan Jogja milik Kadipaten Pakualaman. Adalah N.V Cultuur Matschapij der Vorstenlanden yang berada di Semarang sebagai pemegang saham dan pengendali Pabrik Gula Sewugalur. Kawasan ini, di rasa sangat cocok untuk sebuah pabrik gula dari sisi lahan, suhu, dan kesediaan air karena tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat membutuhkan air untuk hasil yang maksimal. Selain itu, masyarakat juga bekerja di sektor agraris. Masih sama dengan yang terlihat saat ini, hanya saja padi menjadi komoditas utama, bukan tebu lagi.

Karena tanah Mbabrik ini merupakan Pakualaman Ground, waktu itu statusnya Belanda menyewa. Tak tanggung-tanggung, Belanda juga membangun stasiun besar untuk memperlancar pengangkutan gula. Juga didukung dengan pembukaan jalur pada tahun 1915 yang membelah Sungai Progo, agar terhubung dengan Stasiun Srandakan lalu menuju ke Stasiun Tugu di kota sana. Era setelah merdeka, jalur tersebut digunakan untuk jembatan transportasi masyarakat, hingga akhirnya ambles tahun 2000 silam dan dibangunlah Jembatan Srandakan II atau Jembatan Srandakan Baru yang sekarang.

Tak sia sia, kala itu produksi gula di Jawa, termasuk Suikerfabriek Sewoegaloor mencapai puncak kejayaannya hingga Jawa termasuk produsen gula tertinggi kedua di dunia setelah Kuba. Tercatat hingga tahun 1920an, produksi gula dunia mencapai 5,16 juta ton. Namun tahun 1927an, industri pergulaan mulai goyah oleh terjadinya inflasi karena tingginya pasokan gula. Hingga sekitar 1930an terjadi krisis yang dikenal dengan krisis Mallaise. Hal ini menyebabkan munculnya sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh pihak-pihak penghasil dan pengimpor gula, Charbourne Agreement. Salah satu isi perjanjian tersebut mengharuskan produsen gula mengurangi jumlah produksi, atau pemerintah menerapkan pajak yang besar. Pabrik gula di Jawa semakin merana dan perlahan tutup, termasuk Pabrik Gula Sewugalur. Alat-alat produksi diangkut ke Pabrik Gula Sragi di Jawa Timur yang sekarang malah masih aktif beroperasi. Sampai kini, kejayaan itu meninggalkan banyak cerita di balik sisa-sisa reruntuhannya.

Jalan menuju bekas depo lori

Meninggalkan lapangan, kami berjalan bersama menuju rumah Pak Zainudin. Di belakang rumah beliaulah kami saling bertukar cerita.

“Di sini dulu tembok-tembok besar, melengkung, bisa buat lari-lari atasnya karena temboknya sangat tebal. Tetapi lama-lama digempur, diambil batu bata merahnya buat bikin rumah. Itu sangat lama sekali. Satu tahun lebih baru habis. Lalu pas membangun rumah saya ini, dibawah itu banyak pondasi-pondasi. Kalau rumah-rumah Belanda itu dulu saya tinggal di sana, jadi pas kemerdekaan itu rumah-rumah Belanda itu dilelang dari Republik ke rakyat. Nah ayah saya yang melelang rumah itu sama tanah ini.” Begitu tutur Pak Zainudin, saksi hidup megahnya Suikerfabriek Sewoegaloor kala itu.

PG Sewugalur dulu kala

Lantas kami diajak mencocokkan cerita Bapak Zaunudin dengan beberapa lembar foto google earth dan peta Belanda kala itu. Bangunan lengkung yang dimaksud adalah depo lori yang kini menjadi lapangan mbabrik, juga rumah-rumah Indische itu masih ada, sebagian sudah dirombak menjadi lebih modern. Barangkali, dulu Mbabrik adalah kawasan elit perindustrian yang bertolak belakang dengan saat ini. Kini, Mbabrik adalah sebuah kawasan pendidikan dan perdagangan karena terdapat sekolah pesantren dan SMP serta pasar Wage. Selebihnya, ya hamparan sawah padi sejauh mata memandang.

Kami melanjutkan perjalanan ke bekas Stasiun Sewugalur pas matahari sedang terik-teriknya. Beberapa di antara kami singgah sebentar di sebuah rumah bercirikan atap tinggi yang kini dihuni warga yang dulunya merupakan kantor pabrik. Beberapa mengabadikan lewat kamera, saya dan seorang teman baru, Sarah yang ternyata asli Banten dan sedang menempuh pendidikan di Jogja menyapa sebentar. Ramah dan murah senyum, khas Jogja pada umumnya.

Beranjak ke depan SMP 2 Galur, sebuah sekolah negeri yang konon adalah bekas stasiun besar. Kami bersama Mas Hari lagi, memilih berteduh di bawah pohon besar di depan pintu gerbang sekolah. Bukan tanpa alasan kala itu kolonial membangun Stasiun Sewugalur yang berada di titik terminus ini. Mereka berpikir akan berada di Hindia Belanda selamanya sebelum hal itu terpatahkan oleh Perang Dunia I dan II.

Bekas rail bed
Bekas stasiun

Rute kereta yang dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij sendiri dimulai dari Stasiun Tugu – Ngabean – Bantul – Palbapang – Srandakan baru setelah melewati Sungai Progo akan sampai di Stasiun Sewugalur. Namun ketika Jepang masuk, sekitar tahun 1942 bangunan pabrik gula diratakan dengan tanah, baja-baja diangkut ke Myanmar dan Thailand karena mereka tahu bahwa teknologi metalogi terbaik adalah dari Eropa. Kini, Stasiun terminus tinggal cerita. Hanya terlihat satu kompleks sekolah menengah dan sebuah gundukan bekas lajur rail bed yang membentang ke tengah sawah, rimbun oleh pepohonan. Lahan di sebelahnya pun kini menjelma menjadi sebuah pasar yang dikenal dengan Pasar Mbabrik/pasar Wage.

Pasar Mbabrik

Kehidupan di Kawasan Pabrik Gula Sewugalur

Menjadi sebuah kawasan industri besar membuat Sewugalur tak luput dari lalu lalang petinggi yang merupakan etnis asing. Merekapun tinggal di area sekitar pabrik yang kini sebagian masih berdiri kokoh bahkan masih dihuni oleh warga. Salah satunya, kami berkunjung ke sebuah rumah klasik milik Bu Jamal. Rumah cukup besar lengkap dengan taman, aliran sungai kecil, jendela model kupu-kupu yang masih asli serta paviliun. Bu Jamal menempati rumah ini bersama anak cucunya. Obrolan singkat kami dengan Bu Jamal dibarengi dengan melihat-lihat bagian dalam yang amat diperhatikan arsitekturnya. Mulai dari pintu depan dan pintu belakang yang membentuk satu garis lurus, serta kamar-kamar pembantu yang terpisah di bagian belakang. Paviliun, yang berada terpisah di bagian selatan dulunya digunakan untuk berpesta dan berdansa sebagai kompensasi atas kerja keras yang sudah dilakukan.

Rumah Bu Jamal

Yang paling berkesan, meskipun setiap hari lewat jalan yang tidak ada namanya ini untuk berangkat pulang bekerja, waktu itu saya masuk ke sebuah kamar yang tak ditinggali oleh keluarga Bu Jamal. Sebuah ranjang lengkap dengan kasur, bantal dan guling berwarna putih namun berubah warna seiring berjalannya waktu, sebuah lemari tua dan lantai semen yang berlumut sedikit membuat saya merinding juga. Menurut penuturan Bu Jamal, sulit membersihkan lumut di rumah ini, karena sangat lembab. Hal ini kemungkinan terdapat rongga saluran air di bawah pondasi rumah untuk keperluan pendinginan. Kini rumah ini sudah punya tetenger sebagai bangunan cagar budaya. Bertolak belakang dengan rumah di sampingnya yang mulai roboh, bahkan ada yang sudah dirombak menjadi rumah modern.

Masih asli

Rumah Bu Jamal, termasuk salah satu yang selamat dari bumi hangus kala itu. Menurut penuturan Mas Aga, rumah-rumah dinas ini pada tahun 1946 dimanfaatkan oleh para tentara Republik Indonesia untuk menginternir sebagian ibu-ibu dan anak-anak Eropa. Mereka diberi jatah beras, dan diperbolehkan untuk ke pasar membeli bahan lauk dan memasaknya sendiri. Sampai kini, rumah ini sudah menjadi bangunan cagar budaya.

Kehidupan sekarang
Dalam rumah Bu Jamal

Meninggalkan rumah Bu Jamal, kami menuju ke kerkof. Menelisik semak-semak dan rimbunan pohon pisang di pinggir sawah, kami menemukan satu area kerkof yang nisannya sudah memprihatinkan. Tembokpun hancur, meninggalkan puing-puing yang ditumbuhi rumput liar. Berbekal kertas dan karbon, kami bersama Mas Lengkong yang juga dari Komunitas Roemah Toea mengeblat satu-satunya nisan yang masih tertempel marmer prasasti walaupun kondisinya sudah tercongkel di bagian bawah. Dan, terbacalah: Ruhe Sanft Maria Arabella Junemann. Sayangnya, keterangan tahun nisan ini ada di bagian yang tercongkel. Kemungkinan, nisan-nisan prasasti lainnya hilang oleh orang-orang tak bertanggung jawab karena memang harganya lumayan. Lalu siapakah Maria Arabella Junemann yang beruntung hingga detik ini masih menjadi bagian dari desa kecil Sewugalur itu?

Kompleks kerkof

Temuan di sebuah surat kabar terbitan Semarang De Locomotief yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. tanggal 28 Agustus 1883, terdapat satu berita kematian. Dalam bahasa Belanda, tertulis istri tercinta dari George Valentine Junemann Sewugalur-Yogyakarta, 25 Agustus 1883. George Valentine Junemann konon adalah seorang masinis yang bekerja di Stasiun Sewugalur milik NIS. Tercatat 7 bulan setelah kematian Maria Arabella Junemann, GV Junemann menikah lagi dengan Marie Jeanette Retel yang dikenalnya di Semarang. Namun pada 9 November 1888 Marie Jeanette Retel Junemann wafat di usia 35 tahun meninggalkan suami dan putrinya. Hanya berselang 5 tahun sepeninggalan istri pertamanya.

Cuplikan di sebuah surat kabar
Nisan Maria Arabella Junemann

Naas, belum genap dua tahun setelah kematian istri keduanya, GV Junemann mengalami kecelakaan kereta api di sebuah jembatan di Stasiun Maos, Cilacap. Kemudian beliau dimakamkan di kompleks pemakaman tentara KNIL di Banyumas. Begitu kiranya yang saya dapatkan ketika ngobrol di depan kerkof waktu itu. Maria Arabella Junemann, yang tak diketahui asal-usulnya, namun diketahui kematiannya karena hanya satu-satunya nisan di kerkof Sewugalur yang masih terbaca.

Di akhir perjalanan, kini saya mengerti bahwa roda kehidupan itu terus berputar. Puing-puing cerobong asap pernah berada di tempat tertinggi pada zamannya. Bangunan-bangunan lengkung yang kokoh, gudang pabrik gula pernah menaungi para buruh dari terik matahari Sewugalur. Peluh mereka yang bahkan bertelanjang dada untuk bekerja, merupakan suatu usaha keras untuk bertahan. Kisah tragis GV Junemann, layaknya kisah tragis sisa-sisa bangunan syarat sejarah di area Sewugalur. Namun apalah daya, sebagai generasi penerus kita hanya perlu melestarikan, dan tetap menjaga desa sejuk nan damai ini.

Sumber:
*blusukan bareng tim Komunitas Roemah Toea, Pak Zainudin dan Bu Jamal
*https://www.imexbo.nl/sf-sewoegaloer-jokja.html
*watespahpoh.net

 

 

 

 

 

 

 


21 respons untuk ‘Menelusuri Jejak Kejayaan Pabrik Gula Sewugalur

  1. Akhirnya terbit ulasan ini.
    Waaah, keren ya. Itu yang cuma pintu aja masih kokoh berdiri gitu. Kalau buatan skrg pasti udh ambrul-brul.
    Pengen kesini deh.
    Eh iya, itu rumah bu jamal yang ga di isi itu, kosong gitu aja ka rin? Nggak ada yang pernah nempatin gtu? Ihhhhhh horor yak smpe ada lumutnya segala

    Suka

    1. Alhamdulilah hahaha iyaa kaaak. Baru mau ku dm wkwkw gaya banget.
      Iya padahal ngga ada betonnya.
      Ayok ke sini kalau ke Jogja. Satu jam gitu deh dari kota.
      Iya kosong aja. Terus ranjangnya itu yang bikin serem. Kalau Bu Jamalnya tinggalnya di belakang wkwk. Lumayan horor emang 😂
      Maacih btw sudah nungguin 😘

      Suka

  2. LENGKAP!!!
    Aneh, biasanya abis hujan itu bukan dingin tapi malah hangat lho, Mbak. Wkwkwkw.

    Di SMP 2 Galur itu nggak ada bekas-bekas stasiunnya? Kayak di Ngabean gitu maksudku.
    Aku jadi pengen banget buat ikutan begini, denger cerita yang rasanya kayak dongeng. Wkwkw.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Kok bisa hangat? Dingin teruuuus di pesisir mah.

      Ngga ada. Cuma rail bed doang itu aja ditanemin pohon mas wkwk. Kalau Ngabean itu mah masih lumayan pakai banget. Masih terlihat jelas wkwk.
      Ayok ikut wkwk

      Disukai oleh 1 orang

  3. Uhuk semedi sebentar udah jd cerita puanjaaang dan lengkip :p
    Oh jd ini ulasan ceritanya pas aku pingin ikut tapi g jadi itu?

    Pundong juga kan punya Mbabrik, tapi sekarang udah blass ga ada bekasnya soalnya dibangun Panti Rehabilitasi Cacat di sana. Kalau duluu pas aku kecil sih tiang dan dinding-dindingnya masih tersisa.
    Cuma relnya yg udah ilang-lang manaa jalurnya…

    Lah aku kok baru ngeh ada Pasar Mbabrik/Wage. Buka setiap apakah?

    Suka

    1. Lengkap versi mbak dwi: lengkip 😂
      Iyaa yang mbak baru sibuk itu mbak.

      Iya mbak Pundong jadi Panti Rehabilitasi Cacat, kita pernah lewat ya mbak. Yaa Pundong dan Galur memang sanak saudara mbak, nasib pabrik gulanya sama wkwk besok semoga roemah toea ke Pundong ya wkwk.

      Kalau cerita mas Hari malah Pundong dulu banyak noni noni yang mau liburan ke Paris, ngereta dari Stasiun Tugu ke Pundong. Dari Pundong naik sampan lewat Oyo. Yag relnya udah diambilin Jepang pas mereka masuk. Kalaupun ada udah tertimbun tanah aspal bangunan ya. Nah kan tapi sekarang walaupun Tugu-Pundong ngga dihubungkan oleh rel kan tapi sudah terhubung sendiri oleh kaliaaaan wkwkwkw.

      Buka setiap wage aja mbak. Kita pernah lewat loooh

      Suka

  4. suasananya mirip di derahku, Klampok, Banjarnegara yang mana terdapat bekas pabrik gula klampok, pun kemarin sempat ikutan jelajah banjoemas bareng komunitas roemah toea juga …

    Suka

      1. beberapa masih dalam kondisi bagus, termasuk yang sekarang jadi kantor pos, BLK, kantor kecamatan, sekolah dll

        Suka

Tinggalkan komentar