Kota Lama yang Masih Bercerita

Aku bersiap turun ketika kereta berhenti perlahan di jalur dua Stasiun Purwosari. Udara pagi Kota Solo menyapa dingin, mengisyaratkan selamat datang kembali. Setelah beristirahat sebentar, aku menyusuri lorong menuju halte Batik Solo Trans.

Bus jalur satu yang kutunggu-tunggu ternyata tidak segera datang. Jadi, pagi itu bisa lebih lama mengamati jalanan Kota Solo yang sedikit ramai. Menurut cerita seorang ibu yang juga menunggu jalur satu, bus ini memang sedikit lama daripada jalur dua. Apalagi ketika akhir pekan. Beberapa kali ditawari angkot kecil dengan tujuan sama, aku tetap menunggu Batik Solo Trans.

***

Beberapa kali ke Solo, aku belum pernah mampir ke Pasar Gede. Jadi pagi itu, aku berjalan menelusuri los-los dalam Pasar Gede yang sangat sibuk. Ada beberapa hal yang menurutku menarik di pasar hasil rancangan Herman Thomas Karsten ini. Baik bentuknya yang khas, tata letak, tembok-tembok yang kokoh dan letak barang dagangan yang entah berbeda dari pasar lain. Oh ya, karena waktu itu adalah Hari Raya Imlek, jadi ornamen-ornamen dan suasana tionghoa sangat terasa. Mengingat, sekitar Pasar Gede Hardjonagoro ini adalah kawasan pecinan.

Selamat datang di Pasar Gede

Aku menengok jam tangan, sudah hampir pukul 09:00 dan aku segera menuju ke pintu depan Benteng Vastenburg. Ya, waktu itu aku ingin mengikuti soerakarta walking tour yang sudah sedikit kuceritakan di tulisan sebelumnya. Di sana, aku segera menemui dua orang guide (Mbak Sinta dan Mas Fendy) dan banyak peserta lainnya.

Pasar Gede Hardjonagoro bagian atas 🙂

Bersama soerakarta walking tour, kami diajak untuk menikmati kota lama. Beberapa bangunan, jalan dan tugu yang masih berdiri kokoh di tengah maraknya pembangunan kota. Di pelataran Benteng Vastenburg yang sudah berpindah-pindah tuan, kami mendengarkan cerita Mas Fendy dengan saksama. Ya, walaupun yang nyantel hanya beberapa. Hehehe.

Benteng Vastenburg

Walaupun bagian dalamnya sudah dipugar, Benteng Vastenburg masih menjadi saksi keberadaan kulit putih di kota ini. Tembok tebal berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi parit untuk pertahanan ini, sudah mengalami renovasi sejak kepemimpinan Bapak Jokowi.
Meninggalkan jejak di pelataran benteng, kami menuju ke gereja di dekat Patung Slamet Riyadi. Masih area gladak, gereja ini juga didirikan untuk kebutuhan rohani para Belanda. Sebagian gereja ini juga sudah mengalami renovasi.
Terik matahari mulai menyengat, sesekali aku membuka botol minum lalu istirahat sebentar. Mas Fendypun menyarankan agar kami memberitahu beliau jika kami lelah.

Bangunan selanjutnya, Kantor Pos dan Gedung Bank Indonesia. Jika ditarik sebuah garis, antara Benteng Vastenburg, gereja dan gedung-gedung ini berdekatan dan dibangun dalam satu area. Khas bangunan kolonial dapat dilihat di gedung baru Bank Indonesia yang dulunya merupakan Hotel Slier. Konon, kawasan ini adalah pusat kota yang modern pada masanya.
Hari semakin siang, kami menerobos para rombongan yang hendak berfoto-foto di area tugu nol kilometer Kota Solo, Tugu Pemandengan. Kami melipir di bawah pohon dekat Balai Kota Solo untuk sekedar berteduh. Seperti Tugu Pal Putih di Jogja, Tugu Pemandengan ini juga dapat ditarik satu garis lurus ke Alas Krendawahono dan Kasunanan Surakarta.

Masih terasa tionghoanya 🙂

Dengan melangkahkan kaki sedikit saja, kami sudah bisa mengenang Kesibukan Para Tionghoa terdahulu di sekitaran Sungai Pepe. Konon, sungai ini lebih lebar dan menjadi sarana transportasi. Pemukiman Tionghoa tersebar di bantaran sungai, dengan ciri khas ukiran naga, ujung-ujung atap membentuk cekungan, balkon dan pintu yang selalu menghadap ke sungai. Walaupun beberapa bangunan sudah direnovasi ke bentuk yang lebih modern, memandangi pemukiman bantaran Sungai Pepe masih akan tetap terasa sebagai pemukiman Tionghoa.
***

Aku merasa, siang itu mengikuti perjalanan yang random. Dari kolonial, pribumi, tionghoa aku temukan di kota itu.

Menyeberangi Sungai Pepe, rombongan soerakarta walking tour sampai di Pasar Gede Hardjonagoro. Kami boleh jajan-jajan sebentar, atau sekedar berfoto-foto. Pada kesempatan itu, aku pergunakan untuk berkenalan dengan Mbak Septi dan Mbak Qoyyi, dua teman asli Solo yang memang sering ikut sub kegiatan dari laku lampah ini. Dari mereka juga, aku menjadi tau banyak hal dan tentu saja tukar menukar akun sosmed. 🙂

Pasar yang sibuk 

Oh ya, Pasar Gede Hardjonagoro yang dibangun tahun 1930 ini, mempunyai dua bangunan utama. Terletak di kanan dan kiri jalan raya, yang waktu itu berhias lampion khas imlek. Pemandangan yang cantik sekali di antara hiruk pikuk kehidupan pasar.
Kecintaan Herman Thomas Karsten kepada Indonesia, terlihat jelas dari pasar ini. Salah satunya, di Pasar Gede, posisi antara penjual dan pembeli saat bertransaksi adalah sejajar, jadi pantas saja jika letak barang dagangan terlihat berbeda. Beliau, memikirkan dan merancang sedemikian detailnya.
***

Perjalanan di bawah terik matahari dan kerumunan masyarakat menunggu pesta barongsai berlanjut menuju Klenteng Tien Kok Sie. Kami masuk sebentar untuk melihat-lihat bangunan dalam klenteng tertua di Solo ini. Belum sempat berdiskusi, kami sudah harus keluar dan melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Pepe.

Di klenteng

Melewati gang-gang kecil di bantaran Sungai Pepe, Mas Fendy mengajak kami ke Loji Wetan. Tempat yang kutunggu-tunggu dengan ekspektasi bahwa di sana akan ada potret-potret bangunan masa lalu yang adem dipandang mata. Ternyata, area ini adalah area dengan penjagaan ketat dan kamipun harus menerobos plang besi untuk masuk.

Area Loji Wetan ini berada di belakang Benteng Vastenburg, tepatnya sebelah timur. Tubuh mulai lelah, tetapi kami tetap melanjutkan perjalanan ke area Kampung Londo ini. Sesekali, Mas Fendy bercerita dan bercanda untuk mengurangi kelelahan berjalan.

Menengok kanan kiri, aku tertarik dengan nama rumah dan nama jalan yang tertulis berbeda di atas dan bawah. Ternyata, kampung ini adalah salah satu kampung unik dengan dua nama jalan. Tidak dipungkiri, beberapa bangunan sudah berubah menjadi bangunan baru yang sama sekali tidak memperlihatkan bangunan lama.

Pilih yang mana? 🙂

Menurut cerita, ada beberapa hal unik lain di gang ini. Sebuah rumah yang terlihat sering kosong namun tetap berlangganan koran, sehingga beberapa koran baru berceceran di depan pintunya. Juga, ada satu rumah yang oleh penghuninya ingin sekali dijadikan bangunan cagar budaya namun belum terkabul.

Karena dulunya area ini untuk tempat tinggal Para Belanda, maka berdiri juga gereja yang sampai sekarang masih utuh, dan masih dipergunakan untuk sembahyang warga setempat. Satu bangunan di sebelah gereja, kini sudah menjadi sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Juga, sebuah tempat hiburan warga Belanda jaman dahulu, sudah berganti menjadi ruko besar yang berdiri megah.

Di akhir perjalanan, pintu-pintu bangunan yang di atasnya bersimbol matahari terbit mengisyaratkan bahwa setelah Jepang berkuasa, mereka sedikit mengganti ciri khas bangunan. Hal yang sering dilakukan para penguasa terdahulu.

Di bawah terik matahari Solo siang itu, perjalanan ditutup dengan melihat bahwa, nyatanya bangunan kuno dan bersejarah sebagian beralih fungsi sebagai kompleks pertokoan dan sejenisnya. Tetapi hal itu tidak menutup daya tarik Kota Lama Solo dan berjuta cerita di dalamnya.

Siang itu kembali ke Stasiun Balapan, berharap mendapatkan tiket kereta sore agar bisa cepat sampai ke Jogja.


10 respons untuk ‘Kota Lama yang Masih Bercerita

  1. Aku lewat juga, ketika lagi muter-muter nyari pom bensin. Langsung ambil kamera dan foto sebisanya. Dalam hati aku keinget foto Rini di IG.
    Aku iri Rini bisa menikmatinya dengan berjalan kaki.
    Duh semoga next trip bisa ke Jogja ajalah. Paksum udah mogok dengan Solo akibat macet di Boyolali :p

    Suka

  2. Uhukk, jadi oleh-oleh dari soerakarta walking tour bisa buat bekal guide in aku kalau ke solo. Ceritanya mengena dan potonya keren kabeh e.
    Ku mau diajakin kalau ada acara begini lagi :).
    Rin selama perjalanan ini, kamu habis berapa liter botol tuppe*****?

    Suka

    1. Mbak jangan berlebihan sih menilainya wkwkw.
      Hayuk mbak? List kedua setelah menulis syahdu di pinggiran Waduk Sermo ya? 😘
      Aku kan cuma bawa yang 500 ml Mbak, terus beli di Pasar Gede yang dingin lagi wkwk. Buat mendinginkan suasana hati. Eh suasana siang yang puanasss kentang kentang.

      Suka

Tinggalkan Balasan ke dwisusantii Batalkan balasan